Kondisi Diperbolehkannya Membuka Aib Orang Lain

Hukum awal menegaskan bahwa membicarakan aib atau keburukan orang lain hukumnya adalah haram. Akan tetapi, yang namanya hukum akan selalu dinamis dan tidak statis, karena berlakunya hukum tetap melihat situasi dan kondisi.

Di dalam kitab al-adzkar an-nawawiyah disebutkan bahwa ada enam kondisi dimana kita diperbolehkannya membicarakan aib orang lain.

Enam point tersebut adalah

Pertama, melaporkan sebuah kedzoliman.
Dalam islam, Seseorang yang sedang dalam kondisi di-dzolimi diperbolehkan melaporkan (orang yang telah berbuat dzolim padanya) kepada penguasa, hakim atau pihak-pihak terkait yang memiliki kewenangan untuk menindak tegas pihak yang men-dzolimi.

Misalnya, orang yang di dzolimi diperbolehkan mengatakan bahwa si A telah melakukan pencurian terhadap harta bendanya, si A telah melakukan pencemaran nama baik, si A telah…… dan lain sebagainya.

Kedua, ketika meminta bantuan untuk merubah kemungkaran menjadi kebaikan.
Jika sebuah kondisi menunjukkan sebuah kemungkaran dan anda ingin merubahnya, akan tetapi, di satu sisi yang lain Anda tidak memiliki power untuk merubahnya, maka melaporkan tindakan kemungkaran atau kemaksiatan tersebut kepada pihak-pihak yang memiliki kuasa untuk merubah kemungkaran tersebut adalah pilihan yang tepat.

Melaporkan kemungkaran atau kemaksiatan semacam itu sudah pasti Anda harus menjelaskan dan memerinci bentuk kemungkaran yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa pihak orang yang melakukan kemungkaran, dan perilaku semacam ini tidak disebut sebagai membuka aib seseorang.

Ketiga, ketika meminta fatwa (istifta’).
Ketika seseorang meminta fatwa kepada kepada mufti bahwa saudaranya atau temannya atau tetangganya atau bahkan istrinya telah berbuat begini dan begitu, maka hal ini dibenarkan dalam Islam. Tujuannya tidak lain adalah agar mufti mengerti duduk permasalahannya dan bisa memberikan fatwa yang tepat sasaran sesuai dengan permasalahan orang yang meminta fatwa.

Namun, untuk kasus seperti poin ke-3  ini, Imam Nawawi menggarisbawahi dengan sebuah solusi sebaiknya nama orang yang bersangkutan disamarkan dengan hanya menyebut si A atau si B atau Si Fulan dan lain sebagainya.

Keempat, ketika sedang memberi peringatan tentang suatu keburukan atau ketika menasehati kaum muslim.
Dalam ilmu hadits terdapat fan khusus yang membahas “Jarhu wa ta’dil“, ini tujuannya “bukan untuk menyudutkan seseorang” dalam periwayatan sebuah Hadits.

Akan tetapi, keberadaan seorang Rawi yang memiliki kecacatan wajib diutarakan kecacatannya. Tujuannya adalah  untuk menjaga kualitas dan secara tidak langsung menjaga agama Islam dari pemalsuan. Bukan untuk mengeksplorasi nilai dan keburukan seorang perawi.

Kelima, ketika seseorang mendeklarasikan diri atau terang-terangan melakukan perbuatan fasik atau bid’ah.
Ketika seseorang Sudah berani terang-terangan melakukan perbuatan maksiat (seperti minum-minuman keras di tempat umum) atau melakukan amalan yang bernilai bid’ah dalam agama. Maka, membicarakan aib semacam ini bukanlah termasuk membuka aib seseorang.

Bahkan menurut imam Nawawi, haram hukumnya jika membicarakan orang tersebut tidak sebagaimana adanya.

Keenam, sebagai bentuk identifikasi (al-ta’rif).
Ketika terjadi sebuah kasus, ada satu atau beberapa orang memiliki nama atau panggilan yang lain atau beberapa orang memiliki nama yang sama, maka untuk mengidentifikasi orang yang dimaksud bisa dengan cara menyebut kekurangan yang ada pada dirinya seperti al-A’raj (orang pincang), al-A’masy (orang yang rabun), atau al-Ashamm (orang yang tuli) dan lain sebagainya.

Baca juga Perbedaan Kepiting dan Rajungan dan Hukumnya

Hukum menyebut mereka dengan sebutan semacam itu diperbolehkan tidak dikategorikan sebagai (membuka aib) asalkan diniatkan sebagai bentuk identifikasi bukan yang lain.

You May Also Like

error: Alert: Content is protected !!